Berada Pada Titik Nadir, Apa yang Bisa Menyelamatkan Ikatan ?

adi munazir ketum cabang

Modernis.co, Malang – Saya termenung panjang ketika membaca tema Tanwir Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ke XXIX yang dilaksanakan oleh DPP IMM secara daring “Mengabdi Untuk Negeri, Merumuskan Solusi Organisasi di Tengah Pandemi”.

Dalam waktu yang singkat, saya serasa memahami pesan tersirat yang ingin DPP sampaikan. Organisasi ini, sedang berada pada posisi nadir. Pandemi membuat eksistensi organisasi perkaderan terancam, yang secara tidak langsung membuat substansi kehadirannya dipertanyakan. 

Keresahan dari DPP ini, mungkin mewakili sebagian dari kita, yang berada pada jenjang perkaderan tingkat regional. Jujur, ketika pandemi membuat sistem pendidikan harus dilaksanakan secara virtual, kekhawatiran utama seorang aktivis bukan pada kehilangan kesempatan untuk belajar di ruang kelas, namun lebih pada kehilangan momen untuk berdiskusi di ruang-ruang materi.

Aktivitas kampus yang lesu, adalah alarm berbahaya bagi ikatan. Sebab, locus dari organisasi ini adalah kampus. Signal kekhawatiran mulai diucapkan oleh Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI) pak Budi Jatmiko, yang memprediksi bahwa perguruan tinggi akan mengalami penurunan pendaftaran mahasiswa baru sekitar 15 persen dibanding periode sebelumnya. 

Jika kita hendak mengukur sejauh mana implikasi penurunan mahasiswa di perguruan tinggi terhadap proses kaderisasi, khususnya pada IMM Malang Raya, data penerimaan kader tiap tahun bisa menjadi patokan utama. Berdasarkan data yang dihimpun oleh bidang kader cabang dua tahun terakhir, aktivitas perekrutan kader kita sudah menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. 

Tahun 2018, dari total 21 komisariat aktif yang tersebar pada lima perguruan tinggi di Malang raya, total kader yang direkrut mencapai 922 orang. Setahun setelahnya, dengan jumlah mahasiswa baru yang mayoritas meningkat pada beberapa universitas di Malang, jumlah total kader yang direkrut justru mengalami penurunan sekitar 32 % ke angka 621 orang.  

Mari kita asumsikan, tren penurunan pendaftaran pada universitas juga menerpa kita di IMM Malang. Maka, didapatlah angka bulat sebesar 50 % pada prediksi penurunan total jumlah perekrutan kader. Artinya, prediksi total kader baru kita pada tahun ini hanya mencapai angka 310 orang. Jika dirata-ratakan, setiap komisariat di Malang hanya akan merekrut sekitar 12-14 orang kader.

Tidak hanya berhenti sampai disini, karena asumsi ini bisa menjadi semakin mengkhawatirkan jika kita memasukkan realitas seperti akses, sumber daya dan fasilitas yang berbeda antara komisariat di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).     

Pondasi tak rapi, rentan rubuh lalu ditinggalkan

Sebagian orang menganggap, organisasi ekstra kampus seperti IMM sudah kehilangan pamor. Semakin rendahnya minat masuk ke organisasi perkaderan seperti yang ditunjukkan data diatas berbanding terbalik dengan semakin menjamurnya berbagai komunitas berdasarkan hobi atau minat bakat di kampus/masyarakat.

Seperti beberapa waktu yang lalu, sebuah artikel berisi sarkasme kepada organ ekstra kampus di situs voxpop.id, menjadi trending dan banyak dibagikan karena dianggap relate dengan kondisi yang ada.

Artikel itu, kurang lebih menyuarakan hal satu titik tekan yang sama, pola lama nan kaku yang terus di pertahankan oleh organisasi perkaderan dibumbui dengan romantisme sejarah masa lalu.

Jebolan organisasi perkaderan dianggap oportunis, syahwat politiknya tinggi, sehingga dominasi kata dan perilakunya selalu berbau kekuasaan, baik itu anti atau pro pada status quo.

Glorifikasi senior dan alumni ketika terpilih menjadi pejabat pemerintahan / komisaris yang dimulai dari determinasi ketika ajang pemilihan ketua lembaga intra kampus, membuat opini ini semakin menguat.

Semua hal ini, membuat kami yang berada di IMM Malang periode lalu, berusaha keluar dari stigma ini lewat menepi dari jalur-jalur yang dipandang “politis”. Kami bergandengan tangan dengan komunitas yang ada di masyarakat dan memutuskan fokus pada pembenahan langgam organisasi dan pengembangan keilmuan.

Toh akhirnya, pekerjaan berat itu juga tak selesai dengan sempurna. Saya ingat, usaha terakhir untuk memperbaiki kesalahan itu kami rumuskan berminggu-minggu lamanya sehingga tertuang pada draft Musycab ke XXIV kemarin. Bagian favorit saya pribadi, adalah rekomendasi yang saya tuliskan pada poin rekomendasi di Komisi C “Mendesain organisasi agar menghasilkan karya”.

Poin ini, menurut saya sejalan dengan apa yang ditulis pendiri IMM, Pak Djazman al Kindi di edisi lawas majalah Suara Muhammadiyah, “IMM bukan organisasi hura-hura, melainkan sebuah ide tentang masa depan. Oleh karenanya, IMM memilih jalan sebagai organisasi kader, yang fokus pada kualitas dibanding kuantitas anggotanya”.

Karya, adalah sebuah ikhtiar agar gagasan yang lahir tidak hanya berakhir pada ruang-ruang kosong di meja diskusi. Hal ini sekaligus menepis anggapan bahwa aktivis hanya hidup di ruang dialektis tapi gagap pada wilayah praktis. 

Sayangnya, kami menitipkan pondasi bangunan yang “rapuh” untuk periode depan. Bangunan yang kami rancang selama satu periode kemarin, seperti komunitas, modul pemberdayaan dan kaderisasi serta karya-karya intelektual, sepertinya hanya mampu hidup pada fase normal. Pun demikian dengan poin perbaikan yang kami titipkan pada LPJ. Celakanya, periode depan harus hidup pada situasi yang tidak normal pasca pandemi. 

Andai bisa mengulang waktu, saya ingin kembali bukan pada masa ketika kami baru dilantik, tapi justru momen sebulan menjelang Musycab Ke XXIV. Jika tahu keadaan akan seperti ini, ingin rasanya mengusulkan berbagai perubahan. Misalnya, dengan menambahkan bidang lingkungan hidup pada struktural, demi merespon kesadaran lingkungan yang meningkat karena dunia sudah sadar betapa buruknya interaksi manusia dan alam. Sehingga, kader kita tak begitu sibuk ke komunitas hijau agar mendapatkan asupan terkait lingkungan hidup. 

Atau mungkin, jika punya visi akan terjadi pandemi, kita akan bersungguh-sungguh memikirkan pengembangan teknologi di ikatan. Seperti nasihat Yuval Noah pada kolomnya yang viral di Financial Times soal percepatan sejarah akibat percepatan teknologi yang dipaksakan demi survive di masa pandemi. Hal-hal yang luput kami pikirkan itu. Parahnya, jika tak disikapi dengan baik, akan semakin membuat kuat stigma “kuno, lambat” yang melekat pada ikatan.

Harapan yang tersisa

Maka, saya sungguh begitu khawatir rumah bersama bernama IMM Malang ini akan runtuh karena tak kuat menghadapi goncangan bernama pandemi. Optimisme saya sempat muncul ketika membaca tema tanwir DPP yang ingin mencari solusi agar tetap mampu berkarya di tengah pandemi. Namun sampai tulisan ini dibuat, setahu saya keputusan fenomenal yang dihasilkan forum tanwir hanya pemindahan waktu muktamar. Saya yang menunggu keputusan strategis terkait nasib perkaderan, harus kembali memendam kekecewaan. 

Namun, harapan itu muncul ketika saya kembali membuka lembaran Visi Misi calon Ketua Umum yang dibuat oleh ketum Ode untuk ditandingkan pada debat kandidat lalu. Mungkin sudah jalannya, Immawan Ode terpilih sebagai “mandor” selanjutnya (maaf loh Rifky, wkwk).

Secara brillian, ketum ode menyebutkan kata kebaruan pada visi Intelektual profetik yang kemarin saya usung, serta menyisipkan kata futuristik sebagai ciri khas organisasi yang dia harapkan.

Kebaruan dan futuristik nampaknya adalah kata kunci yang kita cari agar bisa selamat dari percepatan sejarah. Saya harus jujur mengakui, pondasi kita yang dibuat pada musycab lalu tidak cukup kuat untuk dibangunkan rumah masa depan yang sesuai dengan era pasca pandemi. Maka, memperbaharui pondasi ini adalah hal yang wajib dilakoni. Catatannya, kebaruan itu, harus bersifat futuristik (sesuai dengan kondisi masa depan).

Periode yang lalu, saya mengusung visi “Gerakan Intelektual Profetik” sebagai basis nilai utama. Visi ini, menurut saya lahir untuk melengkapi visi ketum Adi Munazir soal “Sinergitas Gerakan Dakwah”. Keinginan untuk menyatukan atau merangkul berbagai macam “local wisdom”  yang ada di masing-masing komisariat yang diharapkan oleh ketum Adi menurut saya harus dirangkai dengan pemahaman yang sama terkait basis nilai kita di ikatan.

Sehingga, tidak ada lagi stereotip seperti “komisariat ke kiri-kiri-an” atau sebaliknya, karena kita memperjuangkan nilai yang sama, yaitu humanisasi, liberasi dan berdasar pada sifat transendental. Dengan cara itu, kita bisa sinergis dalam gerakan dakwah.

Semangat ini, saya jelaskan dalam tulisan sederhana saya menjelang pelantikan “Meneropong Sumbangsih IMM untuk Indonesia: Usaha untuk mengatasi kegagalan mengendalikan sejarah”. Saya terpantik ketika membaca tulisan mas Najib Burhani di Jurnal Muhammadiyah Studies, yang membahas perkembangan IMM pada 4 tahap.

Jika diperhatikan, dalam setiap momentum perubahan, IMM secara keorganisasian hampir selalu gagal mengendalikan arah kemana pendulum sejarah berputar. Dalam benak saya, meminjam istilah Mas Azaki dalam tulisan beliau menyambut Milad ke 54 IMM, IMM harus membentuk aliansi intelektual yang strategis yang bisa dijadikan modal sosial agar muncul sebagai “gerakan penentu”.

Tapi, ada satu hal yang kemudian luput saya sadari. Yakni kecakapan model abad 21 yang harus ditanamkan pada internal organisasi. Untuk itu, visi ketum Ode menjawabnya lewat ide yang diserap dari Professor Michael Fullan tentang 6Cs (Character, Citizenship, Collaboration, Communication, Creativity and Critical Thinking). Mengetahui hal ini, membuat saya kembali menaruh optimisme besar pada perjalanan IMM malang, paling tidak satu periode ke depan.

Harapan itu masih ada, sekarang semuanya ada di pundak para pengurus dan Visi Misi Ketum sebagai roda penggeraknya. Selamat pelantikan, gaes !

There is no future, without vision

– Hellen Keller-  

*Oleh: Irsyad Madjid (Ketua Umum PC IMM Malang Raya 2018-2020)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment